Milikku yang Tertunda

18 Feb
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

“Ah, udah lama ya? Sorry, gue beresin ini itu dulu tadi.”

“Gapapa kok. Biasanya juga gue yang nunggu.”

“Hahaha. Iya juga ya,” kau melayangkan pandangannya ke seluruh ruangan, “wah, bagus juga cafe pilihan lo.”

“Gue udah pesenin lo, double espresso.”

Kau tersenyum lebar sembari mengacungkan jempolnya, “ngerti banget. Lo emang paling bisa diandelin.”

Senyum itu, Putra, yang selalu membuatku siap melakukan apa saja untukmu. Senyum milikku yang tertunda.

“Oke, kita mulai aja, ya? Woi, jangan diem. Gue ga ngerti ini soal harus diapain lagi. Dosen kampret.”

Apa saja. Untuk membuatmu menghabiskan waktu sedikit lebih banyak denganku.

Aku Tahu

18 Feb
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

Di tengah erangan kami, aku melihat sosokmu. Diam. Gamang.

“Mas…,” protesnya.

“Sudah malam. Masuk sekarang, Rani.”

“Ga nginep lagi malam ini, mas? Ga mau nemenin Rani?”

“Masuk.”

Kemudian Rani menghilang dibalik pintu apartemennya, meninggalkan kau dan aku dengan ribuan jarak di antara kita. Lobi ini terasa sesak. Sekedipan mata kau berdiri di hadapanku, melayangkan tamparan keras dan dingin.

“Sayang….”

Kau berbalik cepat namun tak cukup cepat untuk menghindari sambaran tanganku. Di pelukanku, kau terjatuh dalam diam.

“Aku benci kamu.”

“Aku tahu.”

Malam ini, kau kembali luluh, sayang.

Nidji – Di Atas Awan

17 Feb
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari http://www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

     Aku seperti kau juga, kawan. Ragu dengan jejak yang kutapaki. Gagu dengan mimpi yang kuucapi. Aku seperti kau juga, samar menerawangi ingin yang kita gantungkan tinggi- tinggi. Karenanya, tanpa kata- kata kami sering duduk bersebelahan disini sembari gaduh mengaduh dalam benak masing- masing.

     “Abis lo lulus lo mau apa?”

    Aku menghela nafas panjang ketika akhirnya Van angkat bicara juga. Rasanya menyandarkan kepalaku pada pundaknya tetiba terasa cukup.

    “Abis lulus gue mau realisasiin passion gue, J,” Van kembali memecah bungkam kami pada pikiran masing- masing. Aku menengadahkan kepalaku untuk menemui kedua bola mata teduhnya yang kini tengah menatapiku.

    “Oh ya,” Van adalah pemimpi yang besar. Sama sepertiku. Hal seperti itu bukanlah sesuatu yang jarang iya ucapkan sehingga aku tak perlu membuat- buat sebuah keterkejutan untuk membuatnya terkesan. Aku paham Ia paham kami tak membutuhkan hal semacam itu, “apa itu?”

     “Lo.”

     Sepersekian detik, waktu mengabadi di antara kami.

    Van merayapkan tangannya ke lenganku, mengeratkannya sambil menatap lurus kepadaku, “gue mau kita. Kita bisa terus bermimpi bersama, J.”

      Perlahan, rasa hangat menjalar ke dadaku.

RAN- Dekat di Hati.

17 Feb
Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari http://www.nulisbuku.com di Facebook dan Twitter @nulisbuku

     Rona matahari pagi menelisipi jemariku dari celah- celah tirai yang setengah terbuka. Digenggami lena semacam itu, aku mengerjapkan mata perlahan. Di saat aku mengalah pada kehangatan yang nyaman itu, sebuah nada mengalun lembut. Seolah belum cukup indah saja pagi- pagiku, lagi- lagi namamu tertera pada layar ponselku.

“Hei.”

“Halo,” balasmu singkat. Aku menangkap getaran senyuman yang kentara di ujung sana.

Sesederhana itu, sayang. Sesederhana itu kita hangatkan dingin jarak di antara kita. Semudah itu kehadiran tak kasat matamu membuat aku kembali jatuh cinta disetiap kalinya.

Satu Episode Lain

12 Nov
Hujanpun, lagi- lagi, menusuk hari
Seorang gadis duduk di tepi kolam
Lemparkan kepalan dendam
Pada tepi- tepi yang hijau sunyi
Aku memiringkan kepala
Padanya ingin kutanya, mengapa
Aku hendak menangis?
-A.

——-
Sisa tangis langit yang tua kini mengering
Keras di rebah bebatuan rindu
Seperti kau
Yang enggan menyudahi hening

Seolah- olah tak cukup saja
Dunia pekak tanpa rayu tawamu
Dingin sengaja mengeja
Namamu pada tubuhku

(Malang, 2014)

 

November, Lagi

12 Nov

Rindu tak pernah mati
Ia hanya menanti,
Mengerling jenaka di antara bilur- bilur sunyi

Tidakkah hujan pernah menggamit sedumu, kak?
Luruh serah
Riuh rendah
Di debar waktu yang serak

Padahal aku hanya ingin menyapai
Senyummu yang usang
Di bilik ratap yang asing

Tapi seperti yang kaupun ketahui,
Rindu punya caranya sendiri
Untuk menelisipkan nyeri

(Malang, 2014)

 

November

19 Nov

Dunia di sekitar saya berputar cepat. Dingin.

daughter – candles

7 Oct

That boy, take me away, into the night
Out of the hum of the street lights and into a forest
I’ll do whatever you say to me in the dark
Scared I’ll be torn apart by a wolf in mask of a familiar name on a birthday card

d

Well I have brittle bones it seems
I bite my tongue and torch my dreams
Have a little voice to speak with
And a mind of thoughts and secrecy
Things cannot be reversed, we learn from the times we are cursed
Things cannot be reversed, learn from the ones we fear the worst
And learn from the ones we hate the most how to

d

Blow out all the candles, blow out all the candles
“You’re too old to be so shy,” he says to me so I stay the night
Just a young heart confusing my mind, but we’re both in silence
Wide-eyed, both in silence
Wide-eyed

d

Cause we both know I’ll never be your lover
I only bring the heat
Company under cover
Filling space in your sheets
Well I’ll never be a lover
I only bring the heat
Company under cover
Filling space in your sheets, in your sheets

d

So, please just blow out all the candles, blow out all the candles
“You’re too old to be so shy,” he says to me so I stay the night
It’s just a young heart confusing my mind, but we’re both in silence
Wide-eyed, both in silence
Wide-eyed, like we’re in a crime scene.

restless

4 Oct
Darkness falling, leaves nowhere to go
Daughter – Still

Setelah sepanjang malam yang resah, pagi ini saya berbalas tatap dengan seseorang yang hampir tidak saya kenali di cermin.
Berusaha mengingat kapan terakhir kali saya jatuh tertidur.

Saya dapat berbaring pejam berjam- jam dalam kegelapan. Namun benak saya gaduh mengaduh.
Saya dapat menipu benak saya, menenggelamkan diri dalam ratusan alunan lembut. Namun tak sekelebatpun jiwa saya lena.

Apakah ini sisa- sisa malam sekolah menegah saya, kopi hangat, serta sepiring hati yang ia tawarkan di racau kami?

Tidak.

Tiga tahun belakangan hidup mentertawakan saya dengan jenaka, menepuk pundak saya. Katanya, nona, telan saja sentimen semacam itu.

wandering soul

Rasanya, menjadi dewasa adalah tentang bagaimana memiliki begitu banyak hal yang dikhawatirkan.

perayaan

27 Sep

Sesungguhnya saya tak begitu yakin.
Saya tak begitu yakin dengan apa yang terlintas di benak saya ketika mencoba kembali ke sini.

Saya baru ingat, laman hitam putih ini dulunya tampak begitu nyaman dan aman untuk saya selalu pulang—atau sembunyi. Menggelikan bagaimana kini Simfoni Mimpi tak lebih dari sebuah rumah boneka berdebu yang ditinggalkan oleh sang bocah ketika waktu membunuh kesenangannya perlahan. Waktu, sebagaimana kalian telah tahu, adalah pembunuh terkeji.

Saya lupa bagaimana bercinta dengan mimpi.

Malam ini saya baru saja menyelesaikan rutinitas saya,  ketika seorang kerabat saya mengirimi pesan singkat. Dua kata saja dan itu cukup membuat saya tertegun. Tiba- tiba ada pusaran waktu dengan dada saya sebagai jangkarnya. Jauh dan dalam, saya melesak. Tenggelam.

                                 Kekinianmu, kak, melayang pelan di antaranya.

                                                                          Indah dan asing.

Tanganmu menjelma cabang- cabang kelam. Dedaunannya jarang- jarang, tak berniat menyembunyikan keabadian yang kau tawarkan dari kelima sorot matamu. Kau, kak, tampak tak perduli bagaimana awan- awan terluka di atasmu. Atau bagaimana tubuhmu aus digerus waktu. Atau bagaimana kakimu tak mampu lagi menopang perang yang kau juangkan. Kau terus berdiri sembari menjajari tatapan saya yang berlari. Menunggu dengan sukacita. Paham benar bahwa pada kedua tangan yang kelak memelukmu kuatlah kau mengakar.

Di riuh rendah kata- kata, mata saya lekat menyapaimu. Rasanya, kak, seasing mengingat lukisan yang saya lupa pernah lukiskan.